Allah Ta'ala
berfirman (QS: 2:208):
“ Wahai
kaum beriman masuklah ke dalam Islam secara total.
Jangan
kalian mengikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya ia adalah musuhmu yang
nyata “'
Zakat adalah satu
dari lima rukun Islam, hukumnya wajib dan memiliki kedudukan sejajar dengan shalat.
Perintah shalat selalu dipadukan dengan perintah berzakat (dalam redaksi
'aqimusalat wa atuzzakat' dan sejenisnya), sebanyak 29 kali dalam Al-Qur'an.
Dasar perintah zakat adalah surat At- Taubah ayat 103 yang berbunyi :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo’alah untuk
mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui ”
Ijma' para ulama
menyatakan bahwa awal ayat ini dalam bentuk fi'il amr (Khuzd), hal ini menunjukkan bahwa zakat harus diambil dari,
dan bukan diserahkan oleh, muzakki. Oleh karenanya maka pembayaran zakat
mensyaratkan adanya otoritas yang melakukannya (Ulil Amri), baik secara
langsung, atau dengan cara menunjuk seseorang lain sebagai petugas yang disebut
dengan Amilin.
Dengan kata lain seorang amil hanya syah sebagai amil bila dia memiliki,
atau menerima amanat dari Ulil Amri untuk itu. Bukan menunjuk dirinya sendiri, sebagaimana
hampir semua Lazis dan Bazis ataupun amil zakat di masjid-masjid yang ada saat
ini.
Penyandingan
zakat dan shalat dalam satu kesatuan dan perintah pengambilannya oleh suatu
otoritas (Amil) menunjukkan bahwa zakat, berbeda dari shalat yang merupakan
urusan pribadi, atau dengan kata lain Zakat adalah urusan publik. Zakat, selain
merupakan ibadah wajib, ia adalah urusan kepemimpinan dalam Islam. Tegaknya
zakat sebagai rukun Islam mensyaratkan, dan menunjukkan, tegaknya tata pemerintahan
dalam Islam.
Sejak Rasulullah SAW, yang kemudian diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin, terus sampai ke sultan-sultan/Mulkan sepanjang ada pemerintahan Islam, zakat dilaksanakan sesuai dengan rukunnya. Fikih empat mazhab besar pun menegaskan soal ini :
~ Imam As-Sarakhsi, ulama terkemuka dari madhab
Hanafi, dalam kitabnya Al-Mabsut menyatakan, "Zakat merupakan hak Allah, untuk
dikumpulkan dan dibagikan oleh seorang pemimpin Muslim (Imamul
Muslimin) atau pihak yang ditunjuknya. Kalau
seseorang membayarkan zakatnya kepada orang lain, maka hal itu tidak
menggugurkan kewajibannya dalam membayar zakat (tidak syah)".
~ Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatta menyatakan "Pembagian zakat terserah menurut penilaian individual orang yang memegang otoritas. Tidak ada ketentuan pasti tentang porsi bagi amil zakat kecuali sesuai dengan yang dianggap tepat oleh pemimpin kaum Muslim (Imamul Muslimin)".
~ Imam As-Safi'i dalam kitab Al-Um menyatakan tentang kategorisasi dari Al-Qur'an soal “mereka yang mengumpulkannya” sebagai mereka yang ditunjuk oleh pemimpin kaum Muslim (Imamul Muslimin) untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
~ Imam Ahmad dikutip dalam kitab As-Sharih Ar-Rabbani li Musnad Ahmad menyatakan, "Hanya khalifah (Imamul Muslimin) saja yang memiliki Hak dan Tanggungjawab untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, apakah dilakukannya sendiri atau melalui orang yang ditunjuknya (Amil), dan dia juga berhak dan bertanggungjawab untuk memerangi mereka yang menolak membayarkannya."
Dari kutipan di atas sangat jelas
bahwa prasyarat pertama yang harus dipenuhi, dan aspek yang harus diwujudkan
dari praktek pengambilan zakat, adalah adanya seorang Khalifah/Imam sebagai wujud Kepemimpinan yang sesuai dengan Syari’at
Islam (Bukan Sistem Demokrasi).
Sejak runtuhnya kekhalifahan
Utsmani, tahun 1924, maka pembayaran zakat tidak lagi dipraktekan sebagaimana saat
Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyiddin (diamalkan sesuai sya’riat Islam).
Sehingga para petugas pengumpul zakat yang ada, muncul mengangkat dirinya
sendiri sebagai Amilin dan pelaksanaan zakat telah berubah layaknya sedekah
privat, seperti yang dipraktekkan saat ini (disalurkan melalui Rekening BAZIS
atau LAZIS).
Dalam konteks kita sekarang untuk mengamalkan
rukun zakat yang sesuai dengan syari’at Islam, sebagaimana praktek zaman
Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyiddin, yaitu melalui cara dan mekanisme yang
benar. Maka Kaum Muslimin harus kembali berjama’ah dan menetapkan seorang
pemimpin yang sesuai dengan mekanisme Syari’at Islam yaitu membai’at seorang Khalifah (Imamul Muslimin).
Dasar pilihan ini adalah ajaran Rasulallah saw, dan tradisi yang dilakukan oleh umat Islam, Al-Mawardi dalam mengawali kitabnya al-Ahkam as-Sultaniyyah juga menyebutkan:
“Kepemimpinan bagi
kaum muslimin ditetapkan untuk melanjutkan kerasulan sebagai cara untuk menjaga Dien dan
mengelola urusan dunia. Merupakan ijma, bahwa seseorang yang hendak melaksanakan
sebuah tanggungjawab dalam posisi ini wajib melaksanakan Kontrak Kepemimpinan
atas Umat (dengan melaksanakan Mubai’ah).
Otoritas
diberikan kepada seorang pemimpin oleh kaum muslimin dalam bentuk bai’at
kepadanya sebagai bentuk kontrak tersebut. Tata cara dan lafal baiat mengikuti
sunah Nabi sebagaimana dipraktekkan di Madinah Al-Munawarrah, ketika seseorang
ber-bai’at kepada Rasulallah SAW, atau para pemimpin umat sesudahnya.
Dengan demikian
menjadi jelas, bahwa urgensi kepemimpinan dalam Islam merupakan sesuatu yang
nyata (bukan utopia). Karena dengan adanya kepemimpinan maka akan dapat
memenuhi rukun dalam mengamalkan syari’at Islam secara sempurna (Kaffah). Dan
untuk mewujudkannya maka kaum muslimin wajib ber-Jama’ah dan ber-Imamah,
sebagaimana Sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhori-Muslim :
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ
الْمُسْلِمِيْنَ وَاِمَامَهُم
رواه البخارى
Artinya :
“Tetapilah olehmu Jama’ah Muslimin dan Imaam
mereka “.
Wallahu’alam bi
sawwab………….
Ditulis Oleh : Basuki Santoso (Dosen Untirta - Banten)
22 Romadhon 1433 H
http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/
BalasHapus